SOEGONDO: TOKOH SUMPAH PEMUDA YANG ‘TENGGELAM’

Nama pria ini mungkin lebih moncer jika tak menolak tawaran Presiden Soekarno. Lewat istrinya -Soewarsih- yang bertemu di istana saat mengantar kakaknya -Soewarni- yang bersuamikan Sekretaris Kabinet A.k Pringgodigdo, Soekarno sebenarnya ingin memberi jabatan kepada pria yang dipanggilnya Mas Gondo itu. Selain tokoh, ia kawan satu kos sang presiden. Tapi jawaban “yes” yang ditunggu Soekarno tak kunjung tiba. Menguaplah kesempatan emas itu.
Bukan itu saja, banyak peluang gemilang dalam kancah perpolitikan Indonesia bisa direbut pria ini. Seperti setelah menjabat sebagai Menteri Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim pada masa RIS, di era Acting Presiden Assaat, anggota Persatuan Pemuda Indonesia itu justru memilih pensiun. Padahal usianya masih 46 tahun. Pasti bukan nasibnya selalu ‘terpinggirkan’ tapi karakternya memang demikian. Saya menilai: ia pria low profile.
Sebut saja dalam peristiwa penting bangsa ini, Sumpah Pemuda. Seberapa banyak orang yang identik mengingat namanya? Padahal ialah pemuda bekia 23 tahun yang didapuk menjadi Ketua Kongres Pemuda II yang menghasilkan janji para pemuda yang heroik itu. Dibanding Mohammad Yamin (sekretaris kongres) dan WR Soepratman, namanya belum juga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional hingga hari ini. Tunggu presiden terpilih 2019 kah?
Soegondo Djojopuspito, demikian nama lengkapnya. Sejak Kongres Pemuda I, namanya ada. Di Sabtu, 28 Oktober 1928 pukul 07.30-11.30, ia membuka Kongres Pemuda II di Gedung Katholieke Jongilingen Bond. Di forum, Soegondo yang menjadi ketua atas restu Soekarno dan Mohammad Hatta itu berseru: “perangilah pengaruh bercerai-berai dan majulah terus ke arah Indonesia bersatu yang kita cita-citakan.” Hingga 90 tahun lewat, seruan itu tetap relevan.
Pantas ia dibanggakan banyak orang di berbagai kota yang pernah berjasa membentuk sejarah hidupnya, termasuk Surabaya. Bersama Soekarno, ia pernah ‘ngenger’ di rumah HOS Cokroaminoto di Peneleh antara 1919-1922. Selama itu, ia menempuh pendidikan MULO. Surabaya juga jadi tempatnya kembali pada 1936 saat bekerja sebagai wartawan lepas De Indische Courant Soerabaia.
Orang Yogyakarta juga boleh merasa memiliki Soegondo. Sebab setelah lulus MULO, ia melanjutkan sekolah ke AMS afdeling B (Sekolah Menengah Atas bagian B paspal) di Yogyakarta tahun 1922-1925. Di Kota Istimewa itu, ia mondok di rumah Ki Hadjar Dewantara di Lempoejangan Stationweg 28 (dulu Jl. Tanjung, sekarang Jl. Gajah Mada). Makamnya juga di Yogyakarta, Pemakamam Keluarga Besar Tamansiswa Taman Wijayabrata. Ia dikebumikan bersama gurunya, Ki Hadjar Dewantara.
Lebih-lebih orang Tuban yang layak menyanjungnya sebagai putra terbaikdaerahnya. Sebab ia lahir di salah satu tanah wali itu, pada 22 Februari 1905. Ditinggal mati ibunya saat kecil, ia diasuh bapaknya, Kromosardjono yang Penghulu dan Mantri Juru Tulis Desa di Tuban lalu Lurah Brebes. Sebelum diantar Harsewojo, pamannya -yang mengangkatnya anak- ke Surabaya, suami penulis novel ternama “Manusia Bebas” ini menempuh pendidikan HIS (Sekolah Dasar) tahun 1911-1918 di Tuban.
Ketika Sumpah Pemuda diperingati, sengaja saya menulis Soegondo karena betapa ia seharusnya punya tempat yang makin layak. Ia sebagian pria pencetus lahirnya bangsa Indonesia pada 1928 sebelum lahirnya negara Indonesia lewat Proklamasi pada 1945. Ya memang sih pemerintah sudah memberikan Tanda Kehormatan Republik Indonesia berupa Bintang Jasa Utama pada 1978. Lalu Satya Lencana Perintis Kemerdekaan pada 1992.
Patung dadanya bisa disaksikan di Museum Sumpah Pemuda Jakarta. Kalau saya amati, rupanya pengunjung jarang berfoto di dekatnya. Foto-foto di berbagai laman jarang sekali saya temukan dengan angle Soegondo. Satu lagi, di Gedung Pertemuan Pemuda ada nama wisma yang diterakan dengan namanya. Gedung di Cibubur milik PP-PON (Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional) itu dibangun Kemenpora dan diresmikan Menpora pada 18 Juli 2012.
Dalam sejarah perintis kemerdekaan, Soegondo setara dengan jasa Soekarno, Muhammad Hatta, atau Sutan Syahrir dan HB IX yang merupakan teman dekatnya. Dalam Sumpah Pemuda apalagi, namanya sangat penting. Memang betul resolusi hasil kongres diformulasikan Muhammad Yamin lebih luwes dalam trilogi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Namun Soegondo lah yang memberi paraf pada secarik kertas untuk menyatakan setuju, lalu diikuti anggota kongres yang lain.
Selain trilogi itu, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf (WR) Supratman boleh unjuk gigi. Siapa lagi yang memuluskan itu kalau tidak karena persetujuan Soegondo. Ketika kongres berlangsung ketat karena dijaga Polisi Hindia Bela Dalam, WR Supratman berbisik meminta izin kepada sang ketua agar boleh memperdengarkan lagu ciptaannya. Soegondo pun menyilakannya dengan berani.
Setelah itu, nama Soegondo lebih sibuk sebagai pendidik. Di mata saya, tokoh yang memilih menjadi guru, adalah cerminan sikap low profile-nya. Maklum, mendidik itu butuh pengabdian. Dua bulan setelah peristiwa itu, ia mendirikan Perguruan Rakyat dengan sahabat baiknya dan juga tokoh Sumpah Pemuda Sunario Sastrowardoyo. Di sekolah di Salemba ia diangkat sebagai kepala sekolah.
Menuruti Ki Hadjar Dewantara, Soegondo serius hanya mendidik dengan menjadi guru di Perguruan Tamansiswa di Bandung sampai diangkat menjadi kepala sekolah pada 1932. Selain sukses ia juga pernah gagal mendirikan Sekolah Loka Siswa di Bogor. Itulah mengapa pada 1936 ia merantau ke Semarang untuk mengajar di sekolah Tamansiswa hingga menjelang Perang Dunia II 1940.
Dari sana Soegondo pindah ke Batavia (Jakarta) mengisi lowongan guru yang ditinggal pergi para guru Belanda untuk kembali ke negaranya. Sebagai jurnalis, karirnya juga bagus karena dipercaya menjadi Direktur Kantor Berita Antara. Sementara Adam Malik -mantan wapres- cuma menjadi salah satu redaktur. Pascaitu, namanya tak lagi tersebut dalam banyak peristiwa. Ini pasti Soegondo tak mau menonjol hingga meninggal pada April 1978.
Meski begitu, wacana mengusulkannya menjadi Pahlawan Nasional yang pantas diterimanya tak boleh tenggelam. Mumpung dua dari tiga anak Soegondo mendukung. Terakhir Menpora Andi Mallarangeng getol mengusulkannya pada 2012. Tim bahkan sudah dibentuk. Satu-satunya putra Soegondo, Ir Sunaryo Joyopuspito M.Eng -guru piano dan biola- sudah menyerahkan semua berkas pengajuan itu lewat Kemenpora.
Apa karena si menteri yang tersandung kasus Hambalang itu masih dipenjara, lantas sekarang upaya itu mandeg? Bisa jadi begitu. Sebab belum tentu yang menggantinya juga berpikir serupa. Sisi buruk dalam jabatan yang ganti orang kadang menyisakan urusan penting jadi mangkrak. Let see. Well, catatan saya: kalau ada tokoh bangsa ‘tenggelam’ dalam peristiwa besar sudah biasa lah di negeri ini barangkali. Masa kita yang bukan apa-apa mudah baper kalau tak dianggap? Tiru saja Soegondo. Merdeka Bung!
*oleh: Heti Palestina Yunani
#catatan #sumpahpemuda #tokoh #90tahun

Komentar

Postingan Populer